Selasa, 24 Juni 2014

Ukhty, Apa Yang Menghalangimu untuk Menghapus Foto-fotomu?



Ukhty, Apa Yang Menghalangimu untuk Menghapus Foto-fotomu?

Apakah tujuanmu dengan memajang foto kalian, memampangnya hingga begitu jelas bulu-bulu halus yang ada di wajahmu???

Maka aku tanyakan padamu, adakah faedahnya dengan kau memajang fotomu di facebook???

Jika kau katakan, “agar temen-temen lama tahu kalau ini aku, ukh.” maka kukatakan, “apakah harus dengan kau memajang fotomu untuk memberi tahukan identitasmu pada teman lamamu??”

Jika kau katakan, “aku memajang foto berjilbab dan bercadar agar temen-temen yang lain tahu ttg keutamaan cadar dan yang belum berjilbab, mau berjilbab.” maka kukatakan, “haruskah dengan memajang fotomu yang telah berjilbab dan bercadar??? tidak cukupkah firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang wajibnya berhijab???”

Ya ukhti, tidakkah kau perhatikan komentar-komentar para laki-laki itu tentang fotomu yang berjilbab dan bercadar??

Tidakkah kau rasakan bahwa pujian-pujian atau kekaguman mereka itu disebabkan karena fitnah syahwat???

Salah satu fitnah terbesar (selain fitnah syubhat)… Bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menjaga dan menundukkan pandangannya???

وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya……..” (QS. An-Nur: 31)

Bukankah kalian berjilbab untuk menyambut perintah Allah & Rasul-Nya?
Dan saudariku yang telah bercadar, apakah tujuanmu memajang foto-foto bercadarmu di facebook??

Bukankah engkau bercadar untuk menghindari fitnah dari lelaki non mahrom akan karunia yang Allah berikan padamu, yaitu wajahmu yang cantik dan begitu teduh jika dipandang???

Apakah engkau tidak merasa jijik ketika ratusan, ribuan bahkan jutaan facebookers menatap wajahmu dengan bebasnya, bahkan menyimpan fotomu sebagai kenangan???

Tidakkah engkau jijik dan risih???

Ketika kecantikanmu dinikmati oleh orang-orang yang bukan mahrommu???

Bagaimana jika foto-fotomu dijadikan foto-foto yang tidak senonoh???

Tidakkah kau malu yaa ukhti???

Saudariku, renungkanlah…

Jika kau jujur pada hati dan dirimu, niscaya kau akan menghapus foto-fotomu dan kau takkan memajangnya sekalipun di rumahmu sendiri..

Teruntuk dirimu yang kusayang dan kucintai:

“Wahai wanita, jangan terlalu banyak bicara dan memperlihatkan dirimu di depan umum, namun segeralah bersembunyi dari para ikhwan/laki-laki. Karena kehormatanmu itu sangat berarti bagi suamimu. Jangan kau khianati suamimu sebelum pernikahanmu datang. Suamimu itu menunggu dirimu dengan harapan kau adalah wanita yang harga dirinya tak ternilai. Kau wanita yang tersembunyi dan hanya suamimu yang dapat melihatmu. Kau wanita yang mulia, yang hanya suamimu yang dapat menikmati kemuliaan itu…”

Saudariku, aku bukanlah siapa-siapa

Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak saudarimu

Aku tak ingin melihat begitu banyak saudari-saudariku yang menjadi ‘objek’

Aku takkan rela yaa ukhti, karena dirimu terlalu berharga…

Apalagi jika dalam keseharianmu engkau begitu menjaga hijjabmu, begitu menjaga muru’ah mu sebagai muslimah…

Aku tak rela yaa ukhti, karena aku mencintaimu… mencintai kalian karena Allah Ta’ala, In syaa’ Allah…

Jadi, apakah yang masih menghalangimu untuk SEGERA MENYAMBUT SERUAN KEBENARAN???

Renungkanlah saudariku, renungkanlah…

Abul Qa’qa’ mengatakan

و من هنا ينبغي للمرء أن يبحث له عن زميل صالح, و خل جاد ناصح, بحيث يكونان متلازمين في أغلب الأوقات, و يحث كل
منهما صاحبه على الطلب و التحصيل, و يشد كل منهما من أزر الآخر و يسد كل منهما الآخر إن أخطأ, و يعينه و يحفزه إن أصاب و وفق, و يغيب كل منهما للآخر ما حفظه من العلم, و يقرآن سوياً, و يراجعان سويا, و يبحثان المسائل, و يحققا سويا

“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama.”

[كيف تتحمس لطلب العلم الشرعي/Kaifa Tatahammas Li Thalabil ‘Ilmi Asy-Syar’i/. محمد بن صالح بن إسحاق الصيعري / Muhammad ibn Shalih ibn Ishaq Ash-Shi’ri /. 1419 H. فهرسة مكتبة الملك فهد الوطنية أثناء النشر /Fahrasah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah Ats-naa`a An-Nasyr.]

العلماء هم ضالتي في كل بلدة وهم بغيتي ووجدت صلاح قلبي في مجالسة العلماء

Orang-orang yang berilmu agama adalah orang yang kucari di setiap tempat. Mereka adalah tujuan yang selalu kucari. Dan aku menemukan keshalihan hatiku di dalam bergaul dengan mereka.(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , IV/85 )

Karena itu saudariku, maukah kau menjadi sahabatku yang shalihah?

Yang selalu saling menasehati di atas kebenaran, saling menyemangati dalam hal-hal yang bermanfaat, dan saling menguatkan satu sama lain. Kalau bukan dengan sesama akhwat, kepada siapa lagi???

Wallahu a’lam

Dari saudarimu,

~Ummu Zahratin Nisa Lathifah~

Senin, 16 Juni 2014

Hadits Dho’if, Bolehkah Dijadikan Sandaran Hukum?



Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah.
Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini (baca: bid’ah).
Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya.

Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah,”Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian”. (Hadits ini dho’if/lemah diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal).



Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin tersebar –di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.
Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mengancam orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ’alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari & Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR. Muslim). Imam Malik –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).
Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang disampaikan dho’if atau dusta. (Lihat Muntahal Amani)

Hukum Memakai Hadits Dho’if
Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if dengan melihat perkataan Imam Muslim –semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.
Imam Muslim –rahimahullah- berkata, ”Ketahuilah –semoga Allah memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)

Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak.” (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.

Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan dalam Fadho’il A’mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahal di pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam masalah fadha’il a’mal.
Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamaan amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan sholat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.
Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il a’mal juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut.

Syarat-syarat tersebut adalah:
(1) Hendaknya hadits dho’if tersebut bukanlah hadits yang sangat dho’if/lemah,
(2) Hendaknya hadits dho’if tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau minimal hasan) yang sifatnya umum,
(3) Di dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya,
(4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.

Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if dengan hadits yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)

Mengenai hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Sedangkan hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan tiga syarat dalam masalah ini,
[Syarat pertama] Hadits tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah).
[Syarat kedua] Hadits tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan adanya pahala dan hukuman.
[Syarat ketiga] Tidak boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak jazim (yaitu tidak tegas). Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.”
Yang dimaksudkan tidak boleh menggunakan lafazh jazim adalah tidak boleh menggunakan kata “qola Rasulullah” (رَسُوْل اللهِ قَالَ), yaitu Rasulullah bersabda. Namun kalau hadits dho’if tersebut ingin disebarluaskan maka harus menggunakan lafazh “ruwiya ‘an rosulillah” (ada yang meriwayatkan dari Rasulullah) atau lafazh “dzukiro ‘anhu” (ada yang menyebutkan dari Rasulullah), atau ”qiila”, atau semacam itu. Jadi intinya, tidaklah boleh menggunakan lafazh “Qola Rosulullah” (Rasulullah bersabda) tatkala menyebutkan hadits dho’if.

Jika di masyarakat tidak bisa membedakan antara perkataan dzukira (ذُكِرَ), qiila (قِيْلَ), ruwiya (رُوِيَ) dan qoola  (قَالَ), maka hadits dho’if tidak boleh disebarluaskan sama sekali. Karena ditakutkan masyarakat  akan menyangka bahwa itu adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Faedah Ilmu dari Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 401-402, cetakan pertama, 1424 H). Lihat pula pembahasan kami di sini.

Faedah Lainnya
Dari sini menunjukkan bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih lain yhadits shahih yang mendukung hal ini. Perhatikanlah! Misalnya ada hadits dho’if mengenai amalan pada malam nishfu sya’ban. Kalau landasannya dari hadits dho’if tanpa pendukung dari hadits shahih, maka tidak boleh digunakan sama sekali sebagai landasan untuk beramal.

ang mendukungnya. Karena di sini hanya disebutkan boleh hadits dho’if untuk memotivasi beramal atau menakut-nakuti, bukan untuk menentukan dianjurkannya suatu amalan kecuali jika ada
Demikian pembahasan ringkas kami. Semoga bermanfaat.
Hanya Allah yang beri taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com