“Maka
dirikanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah.”
(QS.Syura:13)
Kedatangan
kaum penjajah dan Belanda ke bumi nusantara selain dengan tujuan ekonomi dan
perdagangan juga tersirat misi agama sebagaimana diungkapkan oleh
D’AlBuquerque, komandan perang portugis sewaktu menaklukkan Malaka di depan
pasukannya:
“Jasa yang akan kita berikan kepada Tuhan adalah
dengan mengusir orang Moor(maksudnya orang Islam) dari negeri ini, adalah
dengan memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu tidak akan menyebar
lagi sesudah ini, saya yakin benar jika kita rampas perdangan Malaka ini dan
mereka(umat Islam) Kairo dan Mekkah akan hancur.”
Melihat
niat yang tersirat tersebut maka Raden Fatah, penguasa Kerajaan Islam Demak
pada tahun 1513 mengirim Adipati Yunus, putra sulungnya untuk memimpin pasukan
menyerang portugis di Malaka.
Inilah awal perlawanan umat Islam Nusantara atas
penjajah portugis dan belanda, baik dilakukan oleh Kerajaan Islam Demak,
Kerajaan Islam Mataram, Kerajaan Islam Makassar,Kerajaan Islam Ternate,
Kerajaan Islam Madura, Kerajaan Islam Aceh.
Sejarah
mencatat bahwa pahlawan bangsa merupakan tokoh pemimpin yang mempunyai semangat
Islam yang kuat atau ulama yang berpengaruh di Zamannya seperti Raden Fatah,
Sunan Gunung Jati dari Kerajaan Demak, Sultan Khairun dan Pangeran Babullah
dari Ternate, Sultan Agung dari Kerajaan Islam Makassar, Pangeran Diponegoro
dari Jawa Tengah, Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Tengku Umar, T.Cik Ditiro
dari Aceh, semua mengangkat senjata mempertahankan nusantara dari penjajah.
Setelah
ratusan tahun perlawanan terjadi terus menerus dari satu daerah ke daerah yang
lain belum juga mendapatkan kemenangan, maka akhirnya para pemimpin dan ulama
berusaha untuk melakukan perjuangn dalambentuk organisasi yang menghimpun
segala kekuatan Islam dari seluruh daerah di Bumi nusantara, sehingga
tercetuslah organisasi Sarekat Dagang Islam pada 16 oktober 1905 di Kota Solo,
Jawa Tengah.
Sarekat
Dagang Islam tersebut merupakan wadah bagi berkumpulnya pemimpin Islam dalam
memperjuangkan kemerdekaan bangsa dimana anggota organisasi ini terdiri dari
ulama dan pemimpin Islam dari seluruh daerah di Indonesia. Berbeda dengan Budi
Utomo yang berdiri pada 1908 dimana anggota kumpulannya kebanyakan terdiri dari
tokoh masyarakat jawa saja.
Sarekat
dagang Islam kemudian berubah menjadi Syarekat Islam, sehingga perhatian
organisasi bukan hanya pada ekonomi umat, juga kepada perjuangan kemerdekaan.
Kiyai Haji Ahmad ahlan melihat bahwa kebangkitab bangsa haru dimulai dengan
kebangkitan social pendidikan, sebab kelemahan umat terletak pada lemahnya umat
Islam dalam Ilmu sekuler dengan adanya pemisahan ilmu agama dan ilmu umum,
sehingga pada tahun 1912 beliau mendirikman organisasi Muhammadiyah di
Yogyakarta.
Kesadaran
umat untuk bangkit dengan memperbaiki keadaan social dan pendidikan ini terus
berlanjut, sehingga tak lama kemudian berdiri pula organisasi Al Irsyad pada
tahun 1913 di Jakarta, Organisasi Persyarikatan Ulama pada tahun 1915 di
Majalengka, Jawa Barat, Organisasi Persatuan Islam (Persis) pada tahun1923 di
Bandung, Organisasi Nahdathul Ulama pada tahun 1926 di Surabaya, organisasi
Al-Washliyah pada tahun 1930 di Medan, dan lain sebagainya.
Dari
sejarah terlihat bahwa mulanya perlawanan umat Islam dilakukan dengan senjata
oleh kerajaan – kerajaan Islam, dilanjutkan dengan melengkapi perjuangan
kebangsaan melalui perjuangan social dan pendidikan yang dilakukan melalui
organisasi sosial kemasyarakatan. Perjuangan tersebut yang dilakukan dengan
emosi perlawanan dan organisasi social pendidikan semuanya dengan landasan iman
kepada Allah. Landasan iman inilah yang disebut dengan semangat keagamaan ,
sedangkan perjuangan sejata atau social pendidikan merupakan cara berjuangan
yang dilakukan berasaskan semangat keagamaan berdasarkan agama dan iman.
Berdirinya
organisasi keagamaan tersebut membuat penjajah merubah strategi untuk
mengalahkan umat Islam. Untuk melawan emangat keagamaan, maka penjajah Belanda
mendirikan organisasi politik yang berideologi Marxisme-Komunisme dengan nama
Indisceh Social Democratische Vereeniging (ISDV) yang dipimpin oleh
H.J.F.M.Sneevliet dan A.Baars pada tahun 1914 di Semarang. Selanjutnya ISDV
tersebut berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Disamping
itu kaum penjajah berusaha memecah persatuan umat Islam dengan membesar –
besarkan perselisihan pandangan agama antar ormas – ormas Islam dengan
membangkitkan perbedaan – perbedaan mazhab. Diharapkan demikian ormas Islam
tidak akan bersatu untuk menghadapi penjajah, tetapi sibuk dengan pertentangan
serta perselisihan antar mereka sendiri.
Melihat
keadaan demikian, maka Kiyai Haji Hasyim ASYARI PADA Kongres ulama Nahdatul
ulama tahun 1935 di Banjarmasin berkata dalam pidatonya kepada para
ulama:”Wahai ulama – ulama yang telah Ta’asub(fanatic) kepada setengah mazhab
atau setengah “qaul” (pendapat ulama) tinggalkanlah ta’asubmu dalam soal “furu”
(ranting - ranting) itu! Yang ulama sendiri demikian mempunya dua pendapat… dan
hendaklah kamu membela agama Islam. Berijtihadlah menolak orang – orang yang
menghina Al-Qur’an dan sifat – sifat Tuhan. Adapun ta’asshub kamu kepada
ranting – ranting agama dan mendorong oran supaya memegang satu mazhab atau
“qaul”, tidaklah disukai Allah Ta’ala , dan tidak diridhai oleh Rasulullah saw,
apalah lagi jika pendorongmu berlaku demikian hanyalah smata – mata ta’asshub
dan berebut – rebutan dan berdengki – dengkian.”
Kepada
kaum pembaharu, beliau berseru:”wahai ulama – ulama, kalau kamu melihat orang
berbuat suatu amalan berdasarkan “qaul” atau pendapat Imam – Imam yang boleh
ditaqlidi(diikuti) meskipun qaul itu tidak marjuh (mempunyai dalil tetapi kuat
alasannya) maka jika kamu tidak setuju, maka janganlah kamu cerca mereka,
tetapi beri pentunjuk dengan halus. Dan jika mereka tidak sudi mengikutimu,
jangan memusuhi mereka. Kalau kamu berbuat demikian, kamu sama dengan orang
yang membangun sebuah istanan dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Lebih
lanjut beliau menyatakan : “Janganlah kamu jadikan semua itu menjadi sebab
untuk bercerai – berai , berpecah – belah, bertengkar dan bermusuh – musuhan.
Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina menghinakan, pecah
memecahkan, padahal agma kita satu belaka: Islam”
Seruan
KH.Hasyim Asyari ini mendapat tanggapan positif dari berbagai tokoh umat Islam,
sehingga pada tanggal 21 September 1937, atas inisiatif Kiyai Haji Mas Mansur
dari Muhammadiyah, KH.Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, dan Wondoasmiseno
dari persatuan syarekat Islam Indonesia terbentuklah Majelis Islam Ala
Indonesia (MIAI) di Surabaya.
Organisasi
Islam yang dipimpin oleh para ulama sadar bahwa ada kemungkinan adanya
perbedaan hokum ranting fikih (furuiyah) atau disebabkan oelh instrik musuh –
musuh Islam, maka mereka senantiasa menyatukan diri dalam wadah untuk
memudahkan bermusyawarah.
Bagi
umat Islam, selama pendapat tersebut masih berpegang kepada nash Al-Qur’an dan
Hadits , maka mereka akan bersatu,
sedangkan masalah khilafiyah adalah suatu yang wajar sebab setiap pendapat Imam
mempunyai dalil dari Kitab suci Al-Qur’an dan hadits.
Perbedaan
tersebut harus dilakukan dengan adab berbeda penapat sehingga tidak menimbulkan
perselisihan dan memecah persatuan umat. Inilah kekuatan umat yang menjadi
nilai utama dlam kebangkitan bangsa.
Semua
sepakat bahwa perhatian yang paling utama adalah menghadapi musuh – musuh Islam
yaitu Penjajah Belanda dengan budaya barat Kristiani, gerakan komunis atheis
yang sedang berkembang dengan pesatnya, serta nilai- nilai mistik – kejawen
yang berunsurkan syirik yang harud dihadapi secara strategis dan praktis. Ini
adalah merupakan pesan Al-Qur’an kepada umat Islam, “maka dirikanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah.” (QS. Asyura:13)
Persatuan
umat merupakan kunci kebangkitan dan kemenangan umat sebagaimana dinyatakan
dalam Al-Qur’an surah Al – Anfal ayat 46 : “Taatlah kamu kepada Allah dan
RasulNya , dan janganlah kamu berpecah belah, sebab itu akan membuatmu gagal
dan hilang kekuatan.”
Semoga
umat Islam tetap sadar bahwa organisasi dan perbedaan paham bukan menjadi sebab
perpecahan, yang nantinya itu menjadi penyebab kekalahan.
Renungan Jum'at ISTAID (Mei 2013/Rajab 1434)